BOLEHKAH MENUNTUT ANAK?

Membesarkan anak butuh hikmat, seberapa mengerem dan seberapa mengegasnya, juga kapan mengerem dan kapan mengegasnya…

Sungguh benar kalimat yang diucapkan Paul Gunadi kepada saya di sesi konseling itu, dan hikmat sangat dibutuhkan orangtua dalam menjawab pertanyaan berikut…

BOLEHKAH MENUNTUT ANAK?

Pelajaran pertama dan mungkin terpenting dalam mengendarai sepeda ialah: bagaimana menjaga keseimbangan tubuh kita di atas batang-batang besi beroda dua itu. Saya kira membesarkan anak dapat diibaratkan dengan mengendarai sepeda.

Banyak unsur dalam membesarkan anak yang harus ada secara berimbang: “terlalu banyak” atau “terlalu sedikit” biasanya mengakibatkan dampak yang sama-sama negatifnya. Misalnya terlalu sayang dan terlalu protektif dapat membuat anak lemah serta kurang percaya diri. Sebaliknya kurang kasih sayang bisa juga menjadikan anak lemah dan tidak mempunyai keyakinan diri. Demikian pula tuntutan. Terlalu banyak tuntutan membuat anak tertekan, sebaliknya terlalu sedikit tuntutan menjadikan anak terlena.

Saya tidak setuju dengan falsafah pendidikan anak yang menghilangkan segi tuntutan secara total. Tuntutan merangsang pertumbuhan; tanpa tuntutan, anak berkembang bebas tanpa arah dan berhenti bertumbuh. Tuntutan juga bermetamorfosis dalam diri anak, menjadi motivasi dan disiplin yang sangat berfaedah bagi kehidupannya kelak. Namun tuntutan perlu diberikan dengan hati-hati agar berkhasiat maksimal.

Secara spesifik, tuntutan hanya akan efektif bagi pertumbuhan anak bila diiringi oleh unsur atau kondisi tertentu. Bak menanam padi, kita harus menggemburkan tanah dan mengalirkan air dengan teratur. Benih padi sebaik apapun tidak akan tumbuh di tanah yang tandus. Di bawah ini akan saya paparkan empat prinsip yang harus ada bersama dengan tuntutan, agar tuntutan bisa mencapai hasil yang optimal.

Pertama, harus ada kasih dan penerimaan penuh.

Sebelum tuntutan diberikan, anak perlu mengetahui dan merasakan cinta kasih orangtua yang menerimanya secara total. Maksudnya, anak selayaknyalah memiliki keyakinan bahwa ia tetap dikasihi orangtua meski ia belum tentu mampu meraih standar orangtua. Tanpa keraguan anak dapat berkata bahwa cinta kasih orangtua terhadapnya tidak tergantung apakah ia mendapat nilai 9 atau 5. Sebelum menerima tuntutan, anak perlu menyadari bahwa orangtua telah menerimanya apa adanya atas dasar satu alasan: sebab ia adalah anak yang mereka kasihi.

Sebaliknya tuntutan yang diberikan tanpa landasan kasih dan penerimaan penuh, akan jatuh bagaikan duri yang menusuk kalbu. Tanpa kehadiran kasih dan penerimaan, anak akan cenderung mengaitkan perfoma dengan kasih orangtua. Maksudnya, anak akan berpikir bahwa ia hanya akan dikasihi apabila ia berhasil. Memenuhi tuntutan orangtua, misalnya meraih nilai yang bagus. Juga, tanpa adanya penerimaan dari orangtua, tuntutan akan menjadi dingin dan kehilangan unsur kemanusiaan, sehingga tidak jarang anak akhirnya merespons tuntutan seperti itu dengan penuh kebencian. Anak seolah-olah berseru, “Engkau tak berhak menuntut apapun dariku karena engkau tidak mengasihiku!”

Tuntutan yang didahului kasih dan penerimaan akan dapat memotivasi anak berprestasi. Tuntutan mendorongnya bekerja lebih keras dan ia akan dapat melakukannya dengan tenang karena ia tahu bahwa ia dikasihi. Anak sadar bahwa keberhasilannya mencapai tuntutan itu akan menyenangkan hati orangtua, bukan untuk mendapatkan kasih orangtua.

Kedua, harus ada target yang spesifik.

Tuntutan yang efektif adalah tuntutan yang berorientasi pada target tertentu. Tidak jarang orangtua melakukan kesalahan yang umum terjadi, yakni menuntut anak menjadi “lebih baik, lebih rajin, lebih pintar, berprestasi lebih tinggi,” dan lain sebagainya. Tuntutan dengan target yang terlalu luas akan membuat anak hilang arah dalam mengejar sasarannya. Ia perlu mengerti apa itu yang dituntut orangtua, dengan jelas, agar ia tahu apa itu yang harus dilakukannya.

Mungkin ada di antara kita yang berkata, bukankah target menjadi rajin adalah target yang cukup spesifik dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut? Saya akan memberikan contoh yang berkenaan dengan kehidupan orang dewasa. Pernahkah kita diminta atasan menjadi “lebih giat” bekerja dan kita menjadi bingung dengan permintaannya itu? Kita bingung sebab kita sudah merasa bekerja sebaik-baiknya, dan kita tidak tidak tahu lagi apa yang harus kita kerjakan untuk memenuhi target tersebut. Namun kita akan dapat memahami tuntutan itu dengan lebih jelas, apabila atasan meminta kita menjual produk dua kali lebih banyak, atau menambah jumlah pelanggan tiga kali lipat.

Anak akan lebih memahami tuntutan orangtua, apabila tuntutan itu dijabarkan sespesifik mungkin. Daripada berkata, “lebih rajin dan lebih pintar” mungkin lebih baik kita memintanya menambah jam belajar, atau menyelesaikan tugas sekolahnya sebelum bermain. Daripada menuntutnya, “berprestasi lebih tinggi,” kita bisa menyebut pelajaran tertentu yang mendapat nilai rendah, dan memintanya menghabiskan waktu belajar lebih banyak untuk bidang tersebut. Kita bisa menargetkan supaya pada ulangan berikutnya ia mencoba meraih nilai 7. Saya kira anak akan lebih mampu mencapai hasil yang kita inginkan bila ia tahu jelas apa itu yang harus ia lakukan.

    -Paul Gunadi, TELAGA, Eunike

    Ikuti kelanjutannya…

    :)Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: