Sukarela…
Artinya dengan suka dan rela hati, bukan sesukanya dan serelanya. Ketika orangtua dapat mengatasi konflik dan perbedaan relasi suami-isterinya dengan tepat dan sehat, anak Anda mendapat teladan hidup dan modal hidup yang sangat bernilai… Mulailah dengan belajar “menerima terutama dengan sukarela”…
Menerima Terutama Dengan Sukarela
Di sini saya tidak sedang membicarakan hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan dosa. Yang saya maksudkan adalah perbedaan-perbedaan yang menyangkut cara berpikir dan kebiasaan hidup. Bukankah salah satu sumber pertengkaran kita adalah perbedaan berpikir dan kebiasaan hidup? Bukankah sering kali pertengkaran timbul karena kita merasa “tidak dimengerti”? Nah, hal-hal inilah yang sedang saya bicarakan, yakni perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir dan kebiasaan hidup, yang akhirnya mencetuskan pertengkaran dan membuat kita sukar menghormati pasangan kita lagi.
Pada saat-saat seperti ini, kita ditantang untuk menerimanya, lengkap dengan segala “kelemahannya” (perbedaan-perbedaan itu). Saya menyukai definisi Webster’s New World Dictionary yang melekatkan kata-kata “terutama dengan sukarela” pada kata “menerima”.
Menerima dengan terpaksa bisa menyebabkan timbulnya kepahitan hidup, kebencian, rasa tertindas, dan kemuakan. Sebaliknya, menerima dengan sukarela menciptakan suasana kelegaan, kemerdekaan, dan kemandirian. Suasana seperti ini hanya dapat muncul apabila kita bersikap bahwa memang sebenarnya kita dipaksa untuk menerima, namun pada akhirnya kita harus dapat memilih menerimanya dengan seutuhnya.
Saya teringat akan kisah situasi sebuah kelompok di mana terjadi pelbagai perpecahan, dan salah satu sumbernya adalah perbedaan pendapat. Pengetahuan sering kali membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Yang terpenting bukanlah hal memiliki pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan “apa”-nya, yang terpenting, melainkan hal menerapkan pengetahuan ini; yakni, apakah kasih menjadi dasar, perantara, dan tujuan penyampaian pengetahuan ini.
Tatkala saya merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pernikahan kami, saya menyadari bahwa acap kali saya cenderung menekankan “apa”-nya, yakni saya merasa saya lah yang benar atau saya lah yang memiliki pengetahuan yang benar. Ini bukan saja tidak menyelesaikan masalah, malah makin membakar suasana.
Saya berkeyakinan bahwa kasih hanya dapat tumbuh apabila kita sudah menerima pasangan kita seadanya—dengan sukarela. Pertengkaran timbul karena masing-masing merasa benar atau memiliki pengetahuan yang paling tepat. Ini dapat dan akan terus berlangsung selama kita hidup bersama dengan orang lain.
Pada kesempatan ini saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mencoba cara ini. Cobalah untuk “menerima, terutama dengan sukarela” barulah kasih akan timbul. Jangan terlalu menekankan pengetahuan yang dapat membuat kita sombong alias enggan untuk merendahkan diri. Setelah melakukan petunjuk ini, mungkin kita akan sedikit terkejut menyaksikan bahwa tanpa terasa, kita semakin dapat menghargai pandangan-pandangan pasangan kita, alias kita mulai “merasakan atau memperlihatkan hormat” kepadanya. Cobalah dan saksikan hasilnya.
-Paul Gunadi, PARAKALEO, 01.06.2011
🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂
One thought on “Menerima Terutama Dengan Sukarela”