Apakah penilaian yang tidak tepat terhadap diri sendiri akan mempengaruhi relasi nikah kita? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah, ya.
Ternyata pandangan dan perlakuan kita terhadap diri sendiri mempengaruhi pandangan dan perlakuan kita terhadap pasangan, juga anak.
Berikut ini kelanjutan mengenai beberapa pandangan dan perlakuan terhadap diri dan dampaknya pada keluarga.
Guru dan Murid
Ada sebagian dari kita yang diberkati dengan kecerdasan yang melebihi kecerdasan kakak dan adik kita. Orang tua sangat bangga dengan kita dan mereka tidak segan-segan menunjukkan kebanggaan itu di hadapan orang lain. Di sekolah, kita pun menerima perlakuan yang sama. Prestasi akademik kita di atas rata-rata dan banyak teman yang meminta kesediaan kita untuk menolong mereka. Kadang apa yang guru tidak dapat terangkan dengan jelas, kita bisa menerangkannya dengan lebih jelas kepada teman-teman. Kita adalah anak emas dan kita menikmati status tinggi yang dianugerahkan kepada kita. Banyak hal yang tidak dapat dikerjakan orang, atau kalaupun dikerjakan hasilnya tidak sebaik jika kita yang mengerjakannya. Itu sebabnya kita menjadi rebutan teman untuk dimintai bantuan dan sebagai imbalannya, kita merasa puas melihat rona kagum dan bersyukur di wajah mereka.
Di dalam pernikahan kita pun melestarikan peran sebagai guru, karena “kebetulan” pasangan kita adalah mantan teman yang dulu pun mengagumi kelebihan kita. Ia sering bertanya dan meminta pendapat kita, bahkan dalam mengerjakan tugas, sering kali ia memohon bantuan kita. Sekarang kita mengharapkan perlakuan yang sama. Kita tidak begitu senang bila ia lupa memberikan penghargaan kepada kita, sebab bukankah kita yang telah berjasa besar memikirkan segala sesuatunya untuk kepentingan keluarga?
Selama relasi ini sama seperti sediakala, tidak akan banyak masalah yang muncul. Kita senang menjadi guru dan pasangan kita senang menjadi murid. Celakanya, kita tidak selalu bisa mempertahankan status Quo. Adakalanya pasangan kita mulai berkembang dan menumbuhkan kepercayaan diri yang lebih kuat (sebab, bukankah kita adalah guru terbaiknya?). Sebagai akibatnya, ia semakin jarang bertanya dan makin sering mengambil keputusan tanpa melibatkan kita. Sikap ini cukup meresahkan sebab tiba-tiba kita menyadari bahwa hilanglah peran dan fungsi kita di keluarga. Zaman keemasan sudah berlalu dan kita berhenti menjadi anak emas. Tidak ada lagi murid dan ini berarti, tidak ada lagi guru. Sama-sama guru dan sama-sama murid.
Klien dan Konselor
Sebagian dari kita dibesarkan dalam rumah yang penuh konflik; orang tua hampir tidak pernah berbicara baik-baik dan pertengkaran menjadi sarana komunikasi. Pada akhirnya kita mengembangkan penilaian diri yang negatif, karena kita beranggapan bahwa kita berasal dari keluarga bermasalah.
Sebagian dari kita yang bertumbuh besar dalam keluarga bermasalah, mengembangkan penilaian diri yang negatif, sebab kita menjadi korban masalah orang tua. Dalam kondisi yang tidak harmonis, orang tua menjadi tidak sabar, dan acap kali merendahkan dan melampiaskan frustrasinya kepada kita. Perlakuan kasar dan melecehkan akhirnya menyerap masuk dan mempengaruhi penilaian diri. Tidak ada lagi yang baik tentang kita, tidak ada yang dapat dibanggakan. Kita melihat diri sebagai barang buangan yang tidak diinginkan orang lagi.
Dalam pergaulan dengan teman, kita cenderung menarik diri karena kita merasa diri tidak setara dengan mereka. Kita takut membuka diri dan takut dikenal dengan dekat. Kita cenderung dekat dengan teman yang melindungi kita, karena di dekatnya kita merasa aman. Kita peka dengan penolakan dan akan berupaya sekeras mungkin untuk diterima. Kita senantiasa menantikan kebaikan orang untuk memberi pertolongan dan perlindungan.
Pada akhirnya kita berjumpa dengan pasangan, dan “secara kebetulan” ia adalah seseorang yang memberi pertolongan dan perlindungan kepada kita. Ia adalah konselor dan kita klien. Bagi kita dan juga baginya, relasi ini sempurna—ia membutuhkan klien dan kita membutuhkan konselor. Kita memerlukan seseorang untuk bergantung, dan ia membutuhkan orang untuk bergantung padanya agar ia merasa berguna dan berharga.
Relasi klien-konselor bisa berlangsung lama tanpa masalah berarti tetapi dapat pula berlangsung singkat. Relasi ini dapat berlangsung lama, karena kita dan pasangan tidak mengubah peran kita masing-masing; tanpa disadari kita telah menandatangani kontrak untuk menjalani peran masing-masing, dan kita terus mengikuti kontrak ini. Namun, sebagian dari kita tidak selamanya setia pada kontrak tak tertulis ini. Kita yang berfungsi sebagai klien secara berangsur mengembangkan penilaian diri yang lebih positif, dan mulailah kita mengurangi kebergantungan pada pasangan. Kita tidak lagi membutuhkan pertolongan dan perlindungannya, karena makin banyak hal yang dapat kita lakukan sendiri. Untuk merasa aman, kita pun tidak memerlukannya, sebab kita tidak lagi merasa takut menghadapi dunia ini.
Masalah timbul bila pasangan kita tetap menginginkan pola relasi yang sama; ia tetap ingin menjadi konselor sedangkan kita tidak lagi membutuhkan konselor. Atau kebalikannya, kita terus ingin menjadi klien sedangkan ia tidak lagi bersedia menjadi konselor. Ia letih dan tidak sanggup lagi memberi pertolongan dan perlindungan terus-menerus. Ia ingin “pensiun dini”. Akibatnya, kita panik dan makin memegangi tangan dan kakinya, agar ia tidak pergi ke mana-mana. Ketegangan pun muncul dan relasi mengalami gangguan.
Kesimpulan
Penilaian diri berpengaruh besar terhadap relasi nikah. Penilaian diri yang sehat cenderung menciptakan relasi nikah yang sehat; sebaliknya, penilaian diri yang buruk berpotensi memburukkan relasi nikah. Kadang masalahnya terletak bukan pada penilaian diri yang buruk, melainkan pada perbedaan peran dan harapan. Ada baiknya, sebelum kita menyalahkan pasangan akan segala malapetaka yang kita alami, kita mengintrospeksi terlebih dahulu—jangan-jangan kitalah sumber malapetaka itu. Jika kita melihat bahwa kita sendiri yang memicu masalah akibat penilaian diri yang tidak sehat, akuilah secara terbuka kepada pasangan kita. Coba kemukakan kebutuhan kita kepadanya, dan sepakati hal-hal apa yang dapat atau tidak dapat diberikannya.
Kebanyakan kita tidak bersedia mengakui apalagi meminta pasangan untuk menolong. Sering kali kita lebih nyaman menuntutnya untuk menyediakan kebutuhan kita, dan menyalahkannya bila ia lalai melakukannya. Kita tidak ingin melihat diri sendiri, karena kita beranggapan pastilah masalahnya terletak pada pasangan kita. Tepatlah seperti yang dikatakan Yesus Kristus, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Dia memberi jalan keluar bagi kita yang berada dalam kondisi ini, “…keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂
One thought on “BALOK dan SELUMBAR”