TELADAN

Awasi dirimu dan ajaranmu…

Nasihat bijak ini sangat efektif menolong saya menjaga diri: ajaran saya adalah hidup saya, dan hidup saya adalah ajaran saya. Metode mengajar yang terbukti terbaik: ajaran saya sama dengan hidup saya. Kunci utama keteladanan adalah rendah hati.

RENDAH HATI

Tanggung jawab belajar itu diberikan kembali kepada orang-orangnya, sehingga terjadilah perubahan yang diinginkan.

Salah satu contoh yang saya juga sering lihat pada perusahaan-perusahaan yang besar, yang profesional, yang dilakukan adalah: saham dijual kepada para karyawan, sehingga mereka tidak lagi menjadi karyawan meskipun status tetap karyawan, tetapi mereka adalah pemilik karena mereka adalah pemegang saham. Dengan kata lain ini bukan perusahaan Anda, ini perusahaan kita bersama. Nah, waktu orang menyadari ini adalah perusahaan kita bersama, maka dia akan lebih termotivasi berubah, artinya memberi semaksimal mungkin.

Jadi kita bisa terapkan ini dalam segala hal. Contoh yang lebih klasik: kadang-kadang kita tidak begitu nyaman dengan perdebatan atau pertanyaan. Kita kadang-kadang cenderung untuk menggariskan dengan kaku: inilah jalurnya, di luar jalur ini berarti engkau sesat, di luar jalur ini berarti engkau memberontak kepada Allah dan sebagainya. Nah, orang-orang itu tidak akan belajar, tidak akan melakukan perubahan-perubahan yang diminta oleh Allah, juga karena memang tidak pernah mempunyai tanggung jawab untuk itu.

Kedua, kalau kita sendiri mau belajar. Memang harus ada kesadaran bahwa kita perlu dan harus berubah. Jadi dalam diri sendiri memang harus ada kesadaran itu. Kalau kita sudah mempunyai sikap saya tak perlu, dan saya tidak usah berubah atau belajar, tidak mungkin kita belajar. Maka dapat dikatakan bahwa orang yang belajar, adalah orang yang rendah hati.

Kadang-kadang ini yang kita temukan, ada orang yang seolah-olah belajar, tetapi sesungguhnya dia hanyalah mengumpulkan data untuk mengkonfirmasikan pendiriannya. Dia tidak bersedia belajar hal yang berlawanan dengan pendiriannya, atau keyakinannya, dia selalu hanya mengumpulkan informasi-informasi yang hanya mendukung keyakinannya itu. Orang ini hanya akan berkembang secara sempit, tidak akan luas.

Orang yang luas adalah orang yang bersedia belajar dari segala pihak. Kalau saya terapkan dalam konteks keluarga: Bukankah kalau kita sudah mengembangkan praduga atau konsep bahwa pasangan kita ini orangnya tidak sensitif misalnya, kita cenderung mencari data-data tambahan untuk mengkonfirmasi bahwa dia orangnya tidak sensitif. Dengan kata lain, hal-hal lain yang bisa mendukung bahwa dia itu sebetulnya bisa baik, bisa sensitif, itu cenderung tidak kita sampaikan, yang kita fokuskan adalah dia ini orangnya kurang sensitif. Data-data yang mendukung itulah yang kita lebih perhatikan.

Ketiga, belajar itu berkaitan dengan kebutuhan kita. Kalau memang kita mempunyai kebutuhan untuk hal tersebut, kita lebih terbuka untuk mempelajarinya. Kalau kita tidak merasakan kebutuhan itu, kita tidak terbuka untuk belajar.

Keempat, ada satu faktor yang juga bisa menstimulasi kita untuk belajar, yakni kita bukannya digerakkan oleh kebutuhan, tetapi digerakkan oleh inspirasi. Untuk kita bisa berubah, kita mesti melihat yang mendidik kita, atau yang mengajar kita, telah memberikan contoh hidup. Contoh hidup yang langsung itu bisa menjadi inspirasi buat kita.

Mendiang Ibu Theresa tidak akan sukses pergi ke mana-mana untuk mengajak orang-orang terlibat pelayanan terhadap kaum papa di India, kalau dia sendiri tidak terlibat di situ. Jadi seorang Ibu Theresa lah yang baru bisa mendorong orang-orang untuk terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kalau dia hidup dalam kekayaan, tidak pernah bersentuhan dengan orang miskin, kemudian terus mendorong orang-orang terlibat dalam pelayanan seperti itu, dia tidak akan berhasil.

Jadi diperlukan contoh. Contoh di mana orang itu bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya. Inspirasi seperti itulah yang akan membakar orang untuk bertindak sesuai dengan si pengajar itu.

Memang kita sejak kecil terbiasa belajar dengan melihat, itu jauh lebih gampang daripada cuma dengar kata-kata. Kita melihat sehingga kita lebih tahu, lebih jelas dan kita tahu ini bisa dilakukan, namun yang penting juga adalah inspirasi itu. Maka siapa yang hendak menjadi pendidik harus menjadi pelaku dari ajarannya itu. Kalau orang hanya mendengar tetapi tidak melakukan, dia seperti orang yang bercermin kemudian dia tinggalkan cerminnya, dia lupa wajahnya bagaimana.

Terutama di dalam rumah sendiri, di mana anak-anak kita itu melihat kita sehari-hari. Untuk mendorong mereka belajar, yang diperlukan bukan cuma menciptakan kondisi yang kondisif di rumah, tetapi mereka juga butuh keteladanan kita sebagai orang tua.

-Paul Gunadi, TELAGA, T108A

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Berubah

Aku berubah, sungguh ku berubah…

Penggalan lirik lagu itu mengungkapkan kebenaran bahwa perubahan itu berawal dari diriku. Ada sebuah prinsip sederhana yang saya miliki dan selalu berhasil: bila aku ingin orang lain atau situasi berubah, perubahan itu harus mulai dari diriku. Cobalah dan buktikan, dan untuk itu kita perlu berani berubah.

BERANI BERUBAH

Ada beberapa hal yang memudahkan terjadinya proses belajar, dalam pengertian untuk menolong kita berani berubah.

Pertama adalah lingkungan di mana kita belajar mesti kondusif. Maksudnya, lingkungan itu dapat mengembalikan tanggung jawab belajar kepada si individu.

Kadang kala dalam suasana belajar yang kita jalani, kita tidak mempunyai kebebasan. Karena kita tidak mempunyai kebebasan, maka kita cenderung mengikuti apa yang telah digariskan. Mengikuti apa yang telah digariskan sebetulnya bukan belajar, itu hanyalah tranfer informasi dari satu orang kepada orang yang lainnya. Sedangkan tujuan belajar itu sendiri tidak tercapai, prosesnya memang terjalin, yaitu proses penambahan ilmu atau pengetahuan. Tetapi tujuan akhir belajar yaitu perubahan, tidak terjadi, karena apa? Orang tersebut tidak diberi kebebasan untuk berpikir, untuk bertanya.

Contoh: Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk bertanya kenapa kemalangan menimpa saya, apa salah saya, seberapa besar dosa saya?

Jadi kalau kita diberikan kesempatan untuk berpikir, untuk bertanya, belajar menjadi tanggung jawab kita. Kalau kita tidak diberikan kesempatan untuk berpikir atau pun bertanya, kita tidak lagi belajar, sebab tanggung jawab belajar itu menjadi tidak ada pada diri kita, melainkan pada si pendidiknya.

Jadi penting sekali kita mengalihkan tanggung jawab itu kepada si anak didik, bahwa ini yang engkau harus cari, atau harus engkau temukan. Dan saya kira ini yang penting supaya kita bisa belajar dengan wajar, sehingga kita lebih mudah berubah.

Contoh lain yang sering kali terjadi, yaitu banyak anak-anak yang susah dewasa karena keputusan-keputusan sudah diambilkan oleh orang tuanya, sudah digariskan oleh orang tuanya. Hidup itu benar-benar tidak lagi mempunyai tuntutan untuk memilih, untuk berpikir, untuk memutuskan, karena hidup itu sudah ditetapkan oleh orang tua. Nah, si anak tidak bisa berubah, atau susah sekali untuk berubah, karena apa? Dia tidak pernah memikul tanggung jawab itu untuk belajar.

Jadi sekali lagi, untuk bisa kita menciptakan suasana belajar, kita perlu menciptakan situasi yang bebas sehingga orang bisa merdeka untuk berpikir dan untuk bertanya.

Kadang-kadang waktu dan kesempatan itu sebenarnya ada, hanya kita juga punya kecenderungan untuk mengambil jalan pintasnya supaya cepat. Contoh: seperti anak itu, tadinya kita beri kesempatan tetapi lama sekali memutuskan. Lalu kita sebagai orang tua, atau anak pun juga berkata untuk mengambil jalan pintas. “Terserah Papa”, atau sebaliknya kita sebagai orang tua, “Mengikuti saya sajalah, pasti betul.”

Jalan pintas, memang memberi kita solusi, tetapi kita lupa bahwa solusi itu sementara bukan permanen. Yang lebih baik adalah melimpahkan tanggung jawab itu kepada si anak. Ini bisa kita terapkan dalam segala relasi sebetulnya.

 -Paul Gunadi,TELAGA, T108A

Ikuti kelanjutannya…

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Belajar

Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan…

“Tidak ada istilah terlampau tua untuk belajar… .” Nasihat baik ini sering kita dengar untuk menyemangati orang agar tak pernah berhenti belajar dalam hidup ini. Dan benar. Tetapi untuk itu perlu sedia belajar.

SEDIA BELAJAR

Belajar itu sebenarnya suatu sikap hidup, pola hidup, atau kemauan, atau apa?
Belajar mempunyai arti yang luas, sebetulnya belajar itu adalah penambahan pengetahuan. Sesuatu yang belum kita ketahui, kemudian kita ketahui setelah melewati proses yang disebut belajar.

Belajar itu tidak harus di sekolah, belajar itu bisa terjadi di mana pun, dan sejak dini seseorang itu harus mulai belajar. Sikap yang baik adalah sikap mau belajar. Untuk bisa hidup sehat kita perlu mempunyai kesediaan untuk belajar.

Belajar yang dimaksud di sini, bukan belajar dalam lingkup akademik, melainkan belajar dalam pengalaman hidup. Apa yang harus kita timba dari peristiwa-peristiwa yang kita hadapi? Apa yang Allah ajarkan yang mesti kita lihat dan kita terima?

Pengertian sehat bukan hanya terbatas pada sehat secara fisik. Sehat di sini adalah sehat secara jiwa, sehat secara rohani. Bila kita bisa mengembangkan sikap bersedia belajar dalam hidup ini, kita akan bisa mengarungi kehidupan ini dengan lebih baik.

Ketimbang orang yang tidak bersedia belajar dalam hidup ini, karena menganggap yang dia ketahui sudah paling benar, dan tidak ada lagi tempat buat dia bertumbuh atau belajar dari orang lain. Sikap itu akan membenturkan dia dengan tembok-tembok kehidupan ini.

Terus terang sebagian besar kita sebenarnya mau saja belajar, kadang-kadang timbul hasrat yang kuat untuk belajar. Tetapi faktanya dengan berjalannya waktu, itu cuma sekadar cita-cita saja, kok bisa begitu kenapa?

Ada dua sifat dalam belajar yang perlu kita ketahui. Dua sifat ini sebetulnya saling bertentangan. Nah, inilah yang jarang kita perhatikan.

Sifat pertama adalah belajar itu mengisi rasa ingin tahu kita. Kita adalah makhluk rasional, dan sebagai makhluk rasional ingin tahu hal-hal yang belum kita ketahui.

Belajar dalam pengetahuan ini memang memenuhi keingintahuan kita, dan belajar dalam hal ini sesuai dengan kodrat kita, sesuai dengan sifat kita. Tetapi belajar mempunyai sisi yang lain, yang mesti kita pahami.

Sifat kedua adalah belajar itu sebetulnya menuntut perubahan pada diri kita. Maka dikatakan bahwa belajar belum terjadi jika perubahan belum terjadi. Dengan kata lain tujuan belajar ialah perubahan. Baik itu perubahan dalam pemikiran, perasaan, atau perilaku. Contoh, gara-gara kita belajar, maka: sekarang kita tahu bagaimana berelasi dengan orang dengan lebih santun, misalnya; atau kita tahu bahwa angin itu bergerak karena tekanan udara; atau kita tahu bahwa matahari itu sebetulnya berdaya sangat besar sekali, dan kita itu di bumi tempat yang kecil sekali. Jadi perubahan-perubahan itu menyangkut perubahan cara pandang juga menyangkut perubahan perilaku.

Kenapa ini adalah sesuatu yang sukar?
Karena belajar menuntut perubahan, dan perubahan adalah sesuatu yang tidak kita inginkan. Karena perubahan itu mempunyai satu tuntutan, yaitu kita mengubah sesuatu yang telah kita tetapkan untuk diri kita, sesuatu yang kita telah terbiasa, dan untuk mengubah itu biasanya tidak mudah.

Tidak mudahnya itu sering kali menyakitkan kita. Kita merasa sakit untuk berubah, atau kita berpikiran, tidak apa-apa kenapa harus berubah?

Kawan saya seorang ahli manajemen berkata, “Di dunia manajemen ada suatu motto, yaitu sukses adalah guru yang buruk.” Dalam pengertian, kita cenderung bersandar pada sukses di masa lampau, dan menganggap karena saya sukses dengan cara itu di masa lampau, maka sekarang saya bisa menggunakan cara yang sama, dan di kemudian hari pasti berhasil.

Maka kesuksesan itu bisa menjebak kita, karena cara kita yang dulu belum tentu cocok untuk sekarang atau pun nanti. Maka saya kira kalau kita terbiasa dengan diri kita, dan kita anggap ini sesuatu yang sangat-sangat baik untuk kita, meskipun dampaknya juga baik, kita lebih susah untuk berubah. Ini salah satu hal kenapa berubah itu susah, karena berubah menuntut kita untuk mengakui, bahwa cara kita yang dulu itu kurang efektif, kurang tepat, kurang pas, kurang baik, alias kita mesti memperbaikinya.

Kita adalah makhluk yang tidak senang dipersalahkan, kita tidak senang mengakui bahwa cara kita itu keliru, kita ingin membenarkan diri. Itulah yang kita warisi dari nenek moyang kita, Adam dan Hawa. Sejak pertama, Adam dan Hawa sudah berkelit dari tanggung jawab mereka, Adam kepada Hawa, Hawa kepada ular. Jadi kita memang makhluk yang ingin benar. Karena kita ingin benar, jadi perubahan menjadi sesuatu yang sulit kita lakukan.

Apakah ada suatu pola atau cara, supaya kita bisa atau mau dengan sungguh-sungguh berubah?

-Paul Gunadi, TELAGA, T108A


Ikuti kelanjutannya…

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Ikatan Ibu dan Bayi Sangat Menentukan Hidupnya

Nasihat mengasuh anak untuk mengembangkan ikatan melekat aman

“Lima tahun pertama dalam hidup seorang bayi sejak dari kandungan, adalah usia yang sangat penting, yang akan berpengaruh seumur hidupnya.” Itu benar, tetapi apa penyebabnya?

Saya baru benar-benar paham, saat saya bertemu dan memiliki sahabat karib yang sulit mengatasi stres, kegelisahan, dan ketakutan, sekalipun dia sangat cerdas. Bila orang lain bersenang-senang untuk bisa mengatasi stres, dia harus tenang dan relaks hingga stresnya berkurang, untuk bisa senang.

Belajar memahami dia, membuat kami berdua menelusuri bersama mencari penyebabnya melalui konseling dan buku, juga situs web yang disarankan konselor. Dan itu membuat saya menemukan dan memahami diri dengan lebih baik. Ikatan ibu dan bayi, ternyata sangat menentukan hidup saya, hidup dia, hidup Anda, dan hidup bayi Anda!

Ikatan melekat, istilah yang saya gunakan di sini untuk istilah “attachment bond”,  adalah relasi yang dalam dan tahan lama, yang berkembang antara Anda dengan bayi Anda di tahun-tahun awal kehidupan. Ikatan ini menciptakan relasi yang unik yang membentuk perkembangan bayi Anda.

Ikatan ini memotivasi Anda untuk memberi perhatian yang saksama terhadap kebutuhan-kebutuhan bayi Anda— seperti bangun di tengah malam untuk menyusui dia, tahu bila popoknya perlu diganti, dan mengerti apa makna dari tangisan-tangisannya yang berbeda.

Proses dari keterikatan dan pelekatan terjadi secara natural saat Anda mempedulikan bayi Anda, namun itu tidak selalu mudah atau tanpa stres. Adalah normal bila Anda merasa tak yakin, takut, atau belum merasa terhubung pada mulanya. Bagaimanapun, ada banyak hal yang Anda dapat lakukan untuk memulai membangun ikatan melekat yang aman (secure attachment bond) dengan bayi Anda.

Pentingnya mutu ikatan melekat

Ikatan melekat adalah relasi yang unik antara bayi Anda dan diri Anda selaku perawat utamanya. Relasi ikatan secara insting ini menarik kalian berdua bersama-sama, memberi keyakinan bahwa kebutuhan-kebutuhan dari bayi Anda yang tak berdaya dan rentan akan dipenuhi.

Di tahun 1990-an ledakan pembelajaran yang menyingkapkan fakta bahwa relasi unik ini, ikatan melekat itu, adalah faktor kunci dalam perkembangan fisik, sosial, emosi, dan intelektual bayi Anda.

Mutu dari ikatan melekat ini ada dua: aman dan tidak aman. Ikatan aman diciptakan dari ibu yang melengkapi bayinya dengan landasan optimal untuk kehidupan: dorongan untuk belajar, kesadaran-diri yang sehat, percaya dan kepedulian terhadap orang lain.

Sedangkan ikatan yang tak aman, tercipta dari ibu yang tak dapat memenuhi kebutuhan bayinya akan keamanan dan pengertian, sehingga menyebabkan dalam kehidupan bayi tersebut nantinya: kebingungan tentang dirinya, serta kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran dan berelasi dengan orang lain.

Fokus yang baik pada saat melakukan kegiatan bersama bayi Anda, memberi rasa aman yang dibutuhkannya, dan sangat menolong dia untuk bisa mengatasi kuatir, stres, kuatir, gelisah, serta bersikap tegas hingga dewasa nanti.

Ikuti kelanjutannya…

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Memilih

Mengambil keputusan adalah salah satu tugas yang tidak mudah dalam kehidupan.

“Perlu waktu, bisa cepat bisa lama,” kata mendiang HA Oppusunggu, di kantornya siang itu. Dia menatapku, dengan senyumnya yang khas tersungging. Itu komentarnya setelah dengan tenang mendengarkan aku yang sedang menghadapi beberapa pilihan pekerjaan.

Aku membaca beberapa buku yang bagus untuk menolongku bisa mengambil keputusan terbaik. Dan aku ingat sebuah pengalaman menarik semasa kuliah di Yogya.

Sore itu aku diantar teman ke rumah dosen waliku. Profesor berkebangsaan Belanda itu membuka pintu rumahnya, dan mempersilakan aku duduk. Setelah duduk, dengan ramah beliau menanyakan apa yang dia bisa lakukan untukku. Aku bilang bahwa aku ingin keluar, berhenti kuliah maksudku. Beliau tersenyum menatapku, dan berkata, “Boleh, mau mulai kapan? Besok? Lusa? Tetapi sebelumnya jawab dulu pertanyaan ini: apa yang akan kamu hadapi kalau keluar?”

Aku berpikir sejenak, sambil menatap beliau, aku menjawab, “Oh, pasti orang tuaku sedih dan bertanya mengapa? Kakakku yang mensponsori aku pasti kecewa dan bertanya mengapa? Lembaga yang memberi rekomendasi pasti juga bertanya mengapa? Dan seumur hidupku orang akan bertanya mengapa aku tidak selesai kuliah?”

Beliau tersenyum lebar, lalu berdiri, masuk ke dalam dan kembali dengan selembar kertas kosong dan pensil. Beliau meletakkan kertas itu di meja tamu di depanku, lalu dengan pensil di tangannya beliau membuat tanda silang di tengah-tengah, lalu menuliskan: orang tua, kakak, lembaga, orang-orang, di sekeliling tanda silang itu. Beliau menjelaskan, “Pengambilan keputusan yang terbaik adalah, kalau kamu berada di pusat pengambilan keputusan itu, keputusan yang terbaik buat kamu, bukan buat orang tuamu , atau kakakmu, atau lembaga, atau orang lain. Karena yang menghadapi semua resiko keputusan itu adalah kamu, bukan orang lain.”

Aku mengangguk, mengerti, aku menengadah menatap beliau yang menatapku hangat disertai senyumnya yang khas dan ramah. Aku tersenyum, mengangguk. Aku tidak jadi keluar, aku menyelesaikan kuliahku dan diwisuda.

Sejak itu, setiap kali aku mengambil keputusan di mana aku menjadi pusat pengambilan keputusan itu, aku takkan pernah menyesal. Dan dalam perjalanan hidup aku belajar, dalam proses pengambilan keputusan aku bertanya kepada Allah, “Apa rencana-Mu bagi hidupku?”

Dalam relasi orang tua dan anak, pengambilan keputusan selama anak belum akil balig memang terletak pada orang tua, karena anak masih di bawah pengasuhan orang tuanya. Namun dalam pengambilan keputusan terbaik untuk anak itu, apakah anak tetap menjadi pusat pengambilan keputusan, yaitu yang terbaik untuk anak? Karena anak yang akan menjalani resiko keputusan itu, lebih dari pada orang tuanya.

Allah memiliki rencana yang khusus dan istimewa bagi setiap anak, sebelum dunia diciptakan, dan sebelum anak itu dilahirkan. Jadi, dalam proses pengambilan keputusan itu tanyakan, “Apa rencana Allah bagi anakku? Apakah keputusan ini sesuai dengan rencana Allah bagi anakku?” Dengan demikian, orang tua terhindar dari kekeliruan memaksakan dan menjalankan rencana-rencananya terhadap anak, atas nama “maksudnya baik”. Juga terhindar dari konflik orang tua-anak yang tidak perlu terjadi.

Ketika anak bertanya kepada orang tuanya, dan menanti keputusan, merupakan pilihan bijak bila orang tua mengajak anak untuk berdoa dan bertanya kepada Allah, “Apa rencana-Mu bagiku?” Itu menolong dan melatih anak untuk dapat mengambil keputusan terbaik sesuai rencana Allah yang khusus baginya. Ini menjadi modal kehidupan yang tak ternilai bagi anak, seumur hidupnya.

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Maksudnya baik

Jalan ke neraka dilapisi oleh maksud baik.

“Jalan yang dilapisi oleh maksud baik takkan membawa kita ke mana pun,” kata John Townsend setelah mengutip pepatah Inggris di atas, dalam bukunya berjudul “Loving People”.

Saya masih ingat jelas sebuah cerpen berjudul “Maksudnya Baik” yang dimuat di harian “Sinar Harapan” edisi akhir pekan tahun 1970-an, rubrik “Sinar Remaja”. Kisahnya tentang seorang pelukis yang sedang ikut lomba lukis rancangan gedung Balai Kota. Sebagai pengganti yang bagus untuk penghapus lukisan pinsilnya, dia menggunakan roti basi.

Tiap pagi pelukis itu bergegas masuk ke sebuah toko roti kecil, dan berseru, “Roti basi satu.” Gadis penjaga toko roti tersebut dengan sigap menyiapkan, dan pelukis itu bergegas pergi. Sering Gadis itu membayangkan sang pelukis sambil melukis sambil makan, sesekali mencelupkan roti basi itu ke cangkir di dekatnya.

Satu pagi saat pelukis itu masuk ke toko roti, mobil kebakaran lewat, pelukis itu menoleh melihat sebentar. Terdorong oleh maksud baiknya, dengan berdebar-debar cepat-cepat Gadis itu mengoleskan mentega yang lezat di roti basi yang dibeli sang pelukis. Pelukis itu membayar dan membawa roti itu bergegas pergi. Wah, tentu pelukis itu senang menerima kejutan, pikirnya.

Tetapi tak lama berselang, justru dia yang jadi pucat pasi terkejut setengah mati. Pelukis itu kembali dan masuk toko roti dengan marah-marah, lukisannya yang nyaris selesai itu rusak karena roti bermentega itu! Maksudnya baik…

Sejak SD hingga SMA, saya tak pernah ikut Pramuka, pergi berkemah atau study tour, atau sekedar main ke rumah teman… Penjelasan dan alasan Ayah dan Ibu selalu diakhiri dengan, “Maksudnya baik”. Itu membuat kami, anak-anaknya, menerima keputusan mereka tanpa syarat.

Mengapa? Karena anak tidak ingin mendapat label: “kamu suka membantah”, atau “kamu tidak mau mendengarkan”, atau “kamu tidak taat”.

Budaya Indonesia penuh maksud baik. “Tidak, terima kasih.” Sekali saja, tak cukup. Orang akan menawarkan dan mendesak berulang kali, atas nama maksud baik.

Bila dengan halus dan dengan segala keterangan tetap pesannya, “Tidak, terima kasih.” Orang akan sakit hati dan kecewa, seolah tak paham… mengapa  dia “maksudnya baik” tetapi tidak diterima dengan baik? Relasi dan komunikasi jadi rusak, karena “maksudnya baik” pihak yang satu, tidak bisa ketemu, dan tak sama dengan “maksudnya baik” pihak yang lainnya.

Bila ini terjadi dalam relasi orang tua-anak, mendengarkan dengan hati, isi hati dan pikiran anak, adalah langkah bijak. Memahami dengan baik lalu memberi pilihan beserta penjelasan konsekwensi dari masing-masing pilihan, sesuai level usia anak, menolong anak mengambil keputusan yang mendewasakan. Dia yang menjalani konsekwensi keputusannya. Bukan kita.

🙂 Pesan bagi Pembaca: Setiap pertanyaan atau tanggapan Anda, dihargai. Terima kasih dan salam hangat dari eva kristiaman 🙂

Hello!

‎The godly walk with integrity; blessed are their children who follow them.

Proverbs 20:7 (NLT)-

Orang yang takut akan Tuhan, jalan dengan integritas;

diberkatilah anak-anaknya yang mengikutinya.

Direct your children onto the right path,
and when they are older, they will not leave it.

-Proverbs 22:6 (NLT)-

Arahkan anak-anakmu ke jalan yang tepat,

dan kala mereka makin dewasa, mereka takkan meninggalkannya.

Thank you for visiting us.

%d bloggers like this: